Tebuireng.org - Di
dalam al-Qur'an terdapat 370 ayat yang berkaitan dengan persoalan bisnis
dan perdagangan. Selain itu, banyak hadits yang membicarakan keutamaan
para pebisnis. Sayangnya orang Indonesia yang mayoritas beragama Islam
lebih memilih menjadi karyawan daripada menjadi seorang entrepreneur.
Menurut data terakhir jumlah entrepreneur kita hanya 0,18 persen
(sekitar 420 ribu orang) dari total penduduk Indonesia. Padahal menurut
pakar kewirausahaan David McClellad, minimalnya 2 persen dari total
penduduk sebuah negara adalah entrepreneur, baru sebuah negara dapat
hidup sejahtera.
Negara-negara lain sudah lebih banyak
dari angka minimal itu. Mungkin, karena itulah mereka lebih maju secara
ekonomi dan lebih bagus secara sosial. Di Malaysia yang menjadi
pengusaha mencapai 5 persen, di Singapura jumlah pengusahanya sudah
mencapai 7 persen China dan Jepang mencapai 10 persen sedang Amerika
Serikat sudah mencapai 12 persen.
Padahal kalau dilihat dari fakta tentang
negeri kita, Indonesia kaya raya dengan Sumber Daya Alam (SDA). Karena
itulah penjajah datang ke negeri ini untuk mengeksploitasi dan
mengambil SDA kita. Sehingga saking terbiasanya hidup terjajah bangsa
kita seakan lupa dengan adanya SDA itu. Di samping SDA yang berlimpah
mulai dari minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu, bauksit, tanah
subur, batu bara, emas, perak, tanah pertanian dan lain-lain, negeri ini
juga memiliki penduduk dengan usia angkatan kerja dan pemuda fantastis.
Data BPS tahun 2010 menyebutkan,
penduduk Indonesia saat ini 237.556.363 juta jiwa. Dari jumlah itu, yang
tergolong penduduk usia produktif atau angkatan kerja 116,53 juta.
Logikanya jika sebuah negara memiliki lahan pekerjaan yang cukup luas
dan cadangan tenaga kerja yang berlimpah, maka mestinya negeri ini
makmur sejahtera, jumlah penganggurannya sedikit dan tidak ada penduduk
miskin yang jumlahnya na'udzubillah seperti saat ini.
Sehingga karena tidak terjadi
keseimbangan antara pencari kerja dan lapangan kerja, sehingga bagi
mereka yang tidak punya gelar sarjana, terobosan yang diambil untuk
mengatasi pengangguran adalah lari ke luar negeri menjadi Tenaga Kerja
Indonesia (TKI). Untuk kepentingan jangka pendek, menjadi TKI memang
membantu Indonesia. Selain mengurangi jumlah pengangguran juga
memberikan pemasukan devisa negara. Namun untuk kepentingan jangka
panjang, tentu saja ini membahayakan dan memalukan SDA negeri ini akan
terbengkali atau akan dimiliki bangsa lain karena tenaga kerjanya banyak
yang di luar negeri. Untuk mereka yang memegang sarjana ijazah sarjana,
tidak berarti nasib mereka lebih beruntung. Mereka harus menanggung
beban yang lebih berat. Mau jadi TKI sudah malu duluan, masak sarjana
jadi TKI? Mau mencari kerja di dalam negeri jumlah lapangan sudah tidak
mungkin mecukupi. Jadinya mereka berebut lapangan pekerjaan yang ada
dengan cara apapun agar mereka dapat mengisi lowongan tersebut. Salah
satunya adalah dengan jalan sogok-menyogok. Dan sisanya, bagi mereka
yang sudah merasa putus asa untuk mencari kerja. Akhirnya mengambil
jalan pintas diantaranya yaitu dengan cara mengamen, mencopet, mencuri
dan lain sebagainya yang telah dilarang oleh negara seperti yang kita
ketahui bahwasanya angka pengangguran itu berbanding lurus dengan tindak
kriminalitas. Dari permasalahan tersebut tak dapat dipungkiri
bahwasanya, Indonesia saat ini membutuhkan jutaan entrepreneur, bukan
para pencari kerja. Hanya peran kaum entrepreneur yang mampu
mengeluarkan masyarakat Indonesia dari krisis ekonomi sekarang ini.
Adanya realita tersebut tak ayal, jika
jiwa entrepreneurship di Indonesia sudah saatnya untuk digenjot agar
mencapai jumlah entrepreneur yang proporsional, minimalnya 2 persen.
Jika jumlah itu terpenuhi maka akan ada banyak rongsokan berubah menjadi
emas, pasir menjadi permata dan sampah menjadi berlian. Banyak lahan
yang bisa kita hidupkan sehingga peluang kerja bertambah dan jumlah
pengangguran berkurang. Namun kalau jumlah entrepreneurnya berkurang
bisa-bisa emas yang kita miliki berubah menjadi rongsokan, permata yang
kita simpan berubah menjadi pasir dan berlian yang kita timbun akan
berubah menjadi sampah. Dan SDM kita yang seharusnya menjadi aset malah
menjadi beban. Untuk menumbuhkah jiwa entrepreneur bagi bangsa tentunya
bukan suatu hal yang mudah. Dan perlu adanya suatu langkah yang pasti
untuk menumbuhkan hal itu. Setidaknya ada dua cara efektif untuk
menanamkan nilai-nilai entrepreneurship.
Pertama, pembiasaan dalam keluarga.
Semenjak anak-anak masih kecil, orang tua harus sudah memperkenalkan
jiwa entrepreneurship. Misalnya, anak-anak diikutkan pada usaha
kerajinan atau industri rumah tangga (home industry) yang ada di sekitar
tempat tinggalnya. Tentu saja, sebelumnya sudah disepakati jenis
pekerjaan antara pemilik usaha dengan orang tua, sebatas yang terjangkau
bagi anak-anak. Tiap akhir minggu, mereka juga digaji sebagaimana
pekerja lainnya, sekali pun tidak seberapa. Gaji itu tidak boleh
digunakan untuk jajan, melainkan ditabung. Cara ini dimaksudkan agar
anak memiliki pengalaman bagaimana menjadi pekerja, sekaligus menanamkan
pelajaran bagaimana menghargai hasil keringat sendiri dengan cara
menabung uang hasil kerjanya.
Lebih dari itu, dengan bekerja di home
industry anak-anak memperoleh dua keuntungan; mereka memiliki pengalaman
bekerja, menghayati dunia usaha dan sekaligus merasakan bagaimana hidup
sebagai pekerja. Sekali dalam sebulan, anak-anak ditugasi ke pasar.
Mereka harus mencari informasi berbagai harga barang-barang di pasar,
seperti harga gula, beras, berbagai macam sayur, peralatan rumah tangga
dan lain-lain. Anak-anak juga disuruh menanyakan satu persatu harga
berbagai barang sekali pun tidak membelinya. Selanjutnya, hasil survai
pasar tersebut dianalisis dan dijadikan bahan diskusi rutin tiap bulan
di lingkungan keluarga. Kegiatan ini dimaksudkan agar anak menjadi akrab
dengan kehidupan nyata, mampu berkomunikasi dengan baik, mengemukakan
pendapat, menarik kesimpulan, sekaligus membiasakan diri selalu
mengikuti perkembangan ekonomi sehari-hari.
Kedua, penanaman entrepreneurship
melalui pendidikan. Di sekolah/Perguruan Tinggi, perlu dimasukkan
pelajaran atau mata kuliah entrepreneurship. Pelajaran entrepreneurship
itu, harus disajikan secara sistematis serta disesuaikan dengan
tingkatan pendidikan dan usia peserta didik. Kemasan pelajaran juga
harus menarik minat peserta didik, sehingga mereka merasa enjoy
mempelajarinya, tidak ada paksaan dan belajar dalam kondisi gembira.
Sekali waktu, sekolah perlu mengundang para pelaku bisnis yang sukses.
Mereka diminta menerangkan atau
menceritakan perjalanan hidup mereka, dan bagaimana kiat-kiat agar usaha
bisa sukses. Kisah hidup itu, paling tidak akan merangsang anak untuk
meniru atau meneladaninya. Jika memungkinkan, anak-anak juga diikutkan
dalam kegiatan magang kerja di suatu usaha. Tujuanya, selain
memperkenalkan anak pada kondisi usaha riil, mereka juga bisa melihat
langsung praksis dari teori-teori yang telah diperolehnya. Dan
pembelajaran kewirausaan, akan lebih efektif jika sekolah juga
mendirikan usaha nyata. Misalnya, sekolah mendirikan gerai penjual
makanan, simpan pinjam, jasa tiket transportasi, perbankan, kursus
bahasa asing dan sebagainya.
Selanjutnya, anak didik secara
bergantian mendapat tugas berpraksis di situ, dengan target-target yang
telah ditentukan, sebagaimana kegiatan magang. Pendirian dunia usaha di
sekolah itu bertujuan mengakrabkan anak didik antara teori dan praktik
nyata. Seperti yang telah dilakukan oleh pondok modern Gontor disamping
mendirikan usaha-usaha milik pesantren yang dikelola oleh santri sendiri
seperti percetakan, toko buku, penggilingan padi pihak pesantren juga
memberi ajaran hidup kepada santri yang berbunyi "jangan jadi pegawai,
jadilah orang yang punya pegawai" akhirya dengan adanya upaya tersebut
pihak pondok sudah bisa mandiri jika tanpa ada iuran dari santri atau
bantuan pemerintah, pondok modern Gontor mampu berjalan dengan hasil
usahanya sendiri. Ini adalah salah satu contoh kecil di suatu lembaga,
dan contoh ini bisa dikembangkan lagi ke tingkat nasional.
Pada akhirnya, semangat dan jiwa
entrepreneur merupakan pondasi ampuh bagi bangsa ini menghadapi krisis
finansial global, maupun peningkatan angka pengangguran. Tatkala
pendidikan entrepreneurship yang ditanamkan melalui keluarga dan
pendidikan formal telah berjalan efektif, maka tidak menutup
kemungkinan akan lahir jiwa-jiwa entrepreneur baru di negeri kita ini.
Dan jika perkembangan jumlah entrepreneur terus meningkat dan melebihi
dari 2 persen maka Indonesia untuk menjadi Negara besar akan terwujud.
Semoga.
Penulis adalah Mujib Qodar, Pimpinan redaksi MAHAmedia, buletin Ma'had Aly Tebuireng
No comments:
Post a Comment